Rabu, 02 Mei 2012

Budaya Antri



Penduduk Indonesia dalam hal ini adalah bangsa yang sangat payah dalam hal mengantri. Ambil contoh paling mudah, jarang kita lihat kendaraan bermotor yang mau berhenti di belakang garis stop saat menunggu di lampu merah. Justru kebalikannya, apabila ada kendaraan yang mematuhi peraturan dengan berhenti di belakang garis stop, kendaraan itu diklakson-klakson oleh kendaraan dibelakangnya menyuruhnya untuk maju. Dimana budaya antri kita? Mungkin budaya antri sedang mengumpat ketakutan di belakang temannya yang bernama buru-buru.Budaya masyarakat kita adalah ingin dilayani
Akibatnya, jarang sekali di antara mereka yang mau mengantri. Semua orang ingin dilayani meski mereka yang salah. Cukup Berbeda dengan sikap dan budaya orang asing yang terbiasa mengantri di luar negeri. Apabila anda pernah bepergian ke luar negeri melalui terminal F di bandara, Anda akan mengerti maksud saya, dimana anda bisa melihat banyak orang yang stress menghadapi antrian panjang dan berkelok-kelok seperti ular untuk check-in. Kenapa? karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan orang Indonesia untuk datang mepet waktu dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri. Beruntunglah kalau kita memiliki waktu boarding yang yang masih cukup lama.
Tapi kalau kita memiliki waktu boarding yang sempit, antrian berkelok-kelok ini pasti membuat kita stress dan panik juga, kenapa? Soalnya setiap orang yang memiliki tujuan yang berebda-beda dan waktu boarding yang berbeda-beda berada dalam satu garis antrian yang sama. Penumpang yang panik adalah orang yang sebentar lagi mau boarding, tetapi orang-orang yang berada di depannya adalah orang-orang yang memiliki waktu boarding yang masih lama. (Kita tidak bisa mengetahui orang di depan kita memiliki waktu boarding yang sama dengan kita atau tidak, bukan?
Masalah terpecahkan? Memang salah kita sendiri kalau kita datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya kita sudah HARUS check-in MINIMAL 1 jam sebelum waktu boarding. Namun kebiasaan masyarakat kita adalah kita senang datang untuk check-in setengah jam atau seperempat jam sebelum waktu boarding. Atau kalaupun bukan masalah kebiasaan, keterlambatan terjadi karena alasan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Akibatnya apa? Para penumpang yang telat ini biasanya mulai kesal dan marah karena antriannya di depannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas bandara mulai panik dan membuka satu antrian baru lagi untuk mereka yang datang terlambat. Keputusan yang tepat? Terdengar demikian. Masalah penumpang yang hampir telat ini terpecahkan karena mereka puas bisa terbang tepat waktu!


Namun, bagaimana dengan mereka yang telah mengantri secara tertib? Apakah mereka tidak kesal diperlakukan seperti itu? Berarti lebih baik menjadi si orang yang terlambat karena pada akhirnya mereka mendapatkan perlakuan yang lebih "spesial" dengan langsung dibukakan-nya line tersendiri. Orang-orang yang telah mengantri secara tertib ini tidak diperlakukan secara adil padahal mereka berusaha menepati ketentuan dan budaya antri yang ada. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tetapi ternyata prioritas diberikan kepada orang yang datang telat. Kenyataannya, penumpang yang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu diberikan 'prioritas' untuk memotong antrian.
Kebanyakan orang Indonesia tidak mau mengantri, karena masalah kebudayaan jam karet dan juga tidak ada sistem yang baik untuk mengantri, walaupun dari hati nurani kita, kita tahu kita harus mengantri, namun berapa kali kita melihat ada saja orang yang tidak tahu malu memotong antrian dengan memasang wajah tidak bersalah? Antri adalah disiplin ilmu tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian berkelok-kelok seperti ular memiliki kelebihan dan juga kekurangan sendiri. Kelebihannya (dalam antrian ular), orang yang mengantri akan teratur dengan sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular membuat antrian seolah tidak panjang. Hal ini tentu berbeda dengan antrian lurus yang membuat barisnya terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian panjang, orang yang berada didalam antrian yang lambat bergerak biasanya menjadi tidak puas.

Namun demikian, antrian yang dibuat berkelok-kelok seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua memiliki waktu kepergian yang berbeda-beda, akibatnya sistem antrian menjadi tidak berguna. Mengelola sebuah antrian memang sebuah hal yang kompleks. Semakin banyak pelanggan yang datang, maka sistem antrian harus lebih baik. Bayangkan misalnya Telkomsel yang memiliki 75 juta pelanggan harus menghadapi misalkan komplen 50% dari 75 juta itu dalam satu hari dan harus dilakukan secara face to face. Bayangkan berapa panjang antriannya? Belum petugas customer service selesai dengan 1 konsumen, ribuan konsumen baru datang mengantri.

Kesimpulan :
Weits, kalo sudah membicarakan masalah budaya tertib mengantri rasanya pegel, deh! Kayaknya kok orang Indonesa ini sudah terkenal “anti mengantri”. Contoh simple yang selalu membuatku mengeluarkan “kata-kata mutiara” (baca: memaki) adalah saat mengantri keluar tol. Haduh, adaaaa saja yang berusaha menyalip ato memotong antrian terutama ketika belum memasuki zona antrian dengan pembatas kiri kanan itu. Wuih, kalo sudah gitu tentu aku gak mau mengalah. Kita yang sudah capek-capek mengantri dari jauh tiba-tiba dipotong. Kalo yang motong jalan itu angkot ato truk ato bus meski kesal aku masih maklumi. Yah, mereka kan para pejuang jalanan yang tingkat stress nya itnggi. Tapi ini kadang mobil mewah dengan pengendara yang perlente ck…ck…ck… Tampang boleh, kelakuan sih tetep sopir angkot.Contoh lainnya yang tragis menurut saya adalah antrian yang menimbulkan korban jiwa karena pengambilan sembako atau daging kurban yang saya sendiri sudah tidak bisa berkomentar banyak soal sistem pengantriannya. Semua kembali ke sistem pengantrian, budaya dan mental masyarakat kita yang tidak mau mengantri. Saya berharap Anda yang membaca tulisan ini, setidaknya tergugah untuk mulai melakukan hal simpel namun penting yakni bernama antri ini.
budaya tertib mengantri ini masih hal yang mewah di negara kita tercinta ini. Semua ingin duluan, semua merasa lebih penting dari yang lain, merasa lebih membutuhkan dari yang lain. Padahal kalo kita sadar, dengan mengantri semua akan menjadi lebih lancar dan cepat. Bisa mengurangi kemacetan, semua puas, semua senang Paling tidak, budaya tertib mengantri ini harus kita ajarkan pada orang-orang terdekat kita, pada anak-anak. Tentu dengan diri kita sendiri yang memulainya. Yuks Kawan, mulai sekarang kita tertib mengantri di jalan, di kasir mart, di ATM, di WC umum, di manaaaaa sajaaaaa. Maka hidup ini akan lebih indah, dan negara kita tercinta ini akan semakin maju dan kita akan terkenal dengan budaya tertib mengantri

.

Dia Bukan Untukku




Awal masuk sekolah pasti ada MOS yaitu Masa Orientasi Siswa. Aku menginjak ke SMP, bersama teman-teman SD ku dulu aku berkumpul dan membicarakan tentang MOS. “Gadis…,” begitu teman-teman memanggilku. “teman-teman,” kataku menghampiri mereka. “kamu gugus mana?” tanya Vhe, temanku. “ini aku cari-cari namaku gak ketemu-ketemu,” kataku mengusap keringat yang membasahi wajahku. “ya udah kita cari sama-sama yuk,” ajak Ze, temenku. Kami bertiga mencari namaku yang semenjak tadi tak ketemu-ketemu. “Gadis, sini deh,” kata Ze memanggilku. “ada namaku?” tanyaku penasaran. “ini nih kita satu gugus, Gadis Grittenatha Gladia, Zeazahra Modhyantias, Vhealovin Jhuastian,” kata Ze membaca nama kita bertiga. “wah, hebat kau Ze. Dari tadi aku cari-cari gak ketemu,” kataku memuji Ze. “ya udah kita masuk yuk,” ajak Vhe.


Hari pertama MOS itu sangat membosankan bagiku. Apa lagi harus berpanas-panasan untuk upacara pembukaan MOS. Banyak korban pingsan di lapangan sekolah itu. Tenggorokanku mulai kering dan sungguh membuat kepalaku menjadi pusing. Tak lama, aku merasa sudah tak berdaya dan jatuh pingsan. Tak lama aku membuka kedua mataku dan ternyata aku berada di UKS sekolah. Bersama anggota PMR yang menjadi kakak kelasku waktu itu. Aku masih lemas untuk beranjak dari tempat tidur. Dua sahabatku datang menjengukku. Dan aku di tuntutnya untuk berjalan menuju kelas.

Sampai di kelas aku menerima materi awal-awal perkenalan. Kutatap wajah seorang cowok yang berada di seberang mejaku saat itu. Sebelum materi di mulai, absensi siswa MOS saat itu di percepat. Berpasang-pasangan. Dan tak kusangka namaku dipanggil dan cowok yang berada di sampingku tadi juga maju dan ternyata dia bernama Arezaldhi Birasanjaya. Setelah tanda tangan kehadiran, kami kembali ke tempat duduk semula.

Materi pembelajaran untuk jam pertama sudah usai saatnya istirahat. Aku, Vhe, dan Ze menyergap kantin sekolah dan berdesak-desakan. Dan kulihat lagi cowok yang mempunyai nama Arezaldhi Birasanjaya sedang asyiknya ngobrol dengan teman barunya di depan kelas. Sepertinya aku merasakan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Sudah 15 menit waktu untuk istirahat. Waktunya masuk kembali untuk bermain dan belajar.

MOS sudah berjalan tiga hari. Hari ini adalah hari terakhir MOS. Dengan aturan hari ini, aku memakai kaos kaki berbeda warna, dengan rambut yang di kucir sangat banyak seperti orang gila. Semua murid MOS mengikuti upacara penutupan MOS. Hari yang panas. Terasa seperti di panggang. Banyak korban pingsan di lapangan itu. Akhirnya upacara penutupan MOS dipercepat.


***


Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bisa bertemu banyak teman baru. Mereka semua baik kepadaku. Saat aku berkenalan dengan salah satu temanku yang bernama Algea Radista, mataku teralihkan oleh satu sosok yang mungkin pernah aku kenal. Saat ku tatap pekat wajahnya ternyata dialah Arezaldhi Birasanjaya. “Dia kan,” gumamku dalam hati. “halo?Kenapa melongo gitu Dis?” tanya Gea sambil melambai-lambaikan tanganya di depan wajahku. “emm,” aku tersentak olehnya. “kenapa?” tanya Gea penasaran. “oh, ga… gak pa… papa,” kataku gagap. Gea memandangiku dengan wajah bingung. Seperti otaknya penuh dengan tanda tanya. “Gadis…,” sapa Ze dan Vhe. “ehh kalian,” kataku memandang Ve dan Zhe. Vhe dan Ze tersenyum manis kepada Gea. “ini Gea,” kataku memperkenalkan. “aku Vhe,” kata Vhe memperkenalkan dirinya. “aku Ze,” kata Ze juga memperkenalkan dirinya. “so beautiful,” kata Vhe memuji kecantikan Gea. “thank you very much,” kata Gea menjawab pujian Vhe dengan malu.


Aku, Vhe, Ze, dan Gea sudah berteman sangat lama. Sudah lima bulan aku masuk di kelas 7 C. Bersama-sama dengan ketiga sahabatku itu. Tiba-tiba perbincanganku tersentak oleh sosok cowok yang memasuki kelasku. Dia…… Dia…… “Dis, kenapa melongo?” gertak Ze. “eemm, eh, eng… enggak papa,” kataku gugup. “kenapa sih?” tanya Gea. “iya, pelit banget gak mau ngasih tau,” tanya Vhe semakin mendesak. Mereka bertiga melihatku memandangi Arezaldhi sejak tadi. “oo, itu toh yang buat kamu melongo,” ucap Gea menggentakkan jantungku. “siapa, mana?” kataku bertanya-tanya dengan ragu. “itu tuh,” kata Gea menyenggol lenganku dan melirik Arezaldhi. “apaan?”. “sok gak tau nih,” gertak Gea lagi. Aku semakin salah tingkah dibuatnya. Sosok cowok itu pun pergi meninggalkan kelasku. “siapa emangnya?” tanya Vhe dan Ze bersamaan. “Arezaldhi,” kata Gea. “kamu suka ya Dis?” tanya Ze ingin tau. “sok tau kamu Ge,” kataku. “uhuui, jatoh ci’inta agi,” ledek Ze. “apaan sih kalian?” kataku meninggalkan mereka bertiga yang semakin meledekku.


Suatu hari acara ulang tahun sekolahku. Setiap kelas harus menampilkan minimal satu pementasan. Semua teman kelasku memilihku untuk menyanyi solo. Tapi aku seorang remaja yang demam panggung. Dan aku pun ditemani oleh Gea yang suaranya lumayan bagus walaupun nggak sebagus suaraku… hehehe J. Malam ulang tahun itu tiba yang memang bertepatan dengan hari ulang tahunku. “grogi aku Ge,” kataku sambil gemeteran. “enjoy saja Dis,” kata Gea memberiku semangat. “aku bener-bener demam panggung,” kataku dengan keringat dingin. “nanti ada Reza kan yang ngeliat?” ejek Gea. “jadi nama panggilanya Reza,” kataku sedikit tersenyum. “iya.” Hari yang membuatku di selimuti oleh kegerogian yang luar biasa. Karena aku dan Gea akan mewakili kelasku untuk memberikan penampilan yang terbaik.


Acara itu pun dimulai. Dimulai dari kelas 9 lalu dilanjutkan kelas 8 lalu menuju kelas 7. Penampilan yang begitu spektakuler telah ditampilkan dengan penuh semangat. Beribu-ribu tepuk tangan mengiri suasana tersebut. Tiba giliran kelas 7 C yang menampilkan aktrasinya. Jantungku semakin berdebar dengan kencang. Keringat bercucuran ke seluruh badan. Dengan genggaman erat tangan Gea aku dengan gugupnya menaiki panggung dan mengecek mikrofon. Tepuk tangan pun mulai terdengar. Seolah aku tak bisa membayangkan diriku nanti. Dentuman musik R&B mulai terdengar. Dalam hitungan detik syair lagu akan mulai dinyanyikan. Gea dengan semangat dan PD-nya menari-nari happy, sedangkan aku … ????


Keringat bercucuran dari tubuhku. Keringat dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Dengan perasaan yang tak karuan aku mulai melantunkan lagu kesukaanku itu. Siswa-siswa bertepuk tangan lama kelamaan aku merasa semakin enjoy. Saat aku menyanyi, aku melihat Reza tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumanya yang tak kalah manis hehe J. Lagu itu pun usai ku nyanyikan. Pertunjukan kurang dua kelas lagi. Ada yang dans, drama, nyanyi, pelawak, sampai dengan band.


Hari itu hari yang menyenangkan bagiku. Melihat ia tersenyum kepadaku membuatku semakin bersemangat. “Gadis,” sapa Ze. “Eh, Ze. Yang lain kemana?” kataku balik tanya. “tuh,” kata Ze menunjuk Vhe dan Gea. Vhe dan Gea melambaikan tanganya kepadaku dan Ze. Tiba-tiba Ze menarik tanganku meninggalkan tempat itu. “Gadis, Ze. Mau kemana?” tanya Gea. “bentar aja,” teriak Ze dari kejauhan. Gea mengajakku ke tempat yang sepi, dan Ze tampak serius memandangku. “apa kamu bener suka Reza?” tanya Ze menatap kedua mataku. Aku tidak tau harus berkata apa. Semua kebingunan merasuki otakku. Aku terdiam mematung. “iya,” kataku lirih.

“aku punya informasi tentang si Reza itu,” ungkap Ze. “info apa?” tanyaku kebingungan. “dia sudah mempunyai pacar,” kata Ze berbisik kepadaku. “kamu tau dari siapa?” tanyaku sedih. “kamu tau Viona Adelima kan?” kata Ze menguatkan. “ya.” “dialah pacarnya,” kata Ze. Aku sedikit ragu dan meneteskan air mata. “kenapa aku mencintai orang yang salah selama ini?” kataku menambah tangisanku. Isak tangisku terdengar oleh Vhe dan Gea. “kenapa dia?” tanya Vhe dan Gea. “kamu tidak salah mencintai dia tetapi kamu hanya belum beruntung mendapatkanya,” hibur Ze. Ze berbisik kepada Gea dan Vhe atas semua ini. “sudahlah Dis, kenapa harus menangis karena cinta?” hibur Gea. “iya, dia bukan sosok yang baik untuk kamu. Banyak cowok yang mau sama kamu di luar sana. Bahkan lebih baik dari Reza,” ungkap Vhe memberi semangat. Aku terharu dengan semuanya. Aku memeluk erat tubuh ketiga sahabatku itu dengan penuh keikhlasan dan aku tau dia bukanlah untukku.