Penduduk Indonesia dalam hal ini adalah bangsa yang sangat payah dalam hal mengantri. Ambil contoh paling mudah, jarang kita lihat kendaraan bermotor yang mau berhenti di belakang garis stop saat menunggu di lampu merah. Justru kebalikannya, apabila ada kendaraan yang mematuhi peraturan dengan berhenti di belakang garis stop, kendaraan itu diklakson-klakson oleh kendaraan dibelakangnya menyuruhnya untuk maju. Dimana budaya antri kita? Mungkin budaya antri sedang mengumpat ketakutan di belakang temannya yang bernama buru-buru.Budaya masyarakat kita adalah ingin dilayani
Akibatnya, jarang sekali di antara mereka yang mau mengantri. Semua orang ingin dilayani meski mereka yang salah. Cukup Berbeda dengan sikap dan budaya orang asing yang terbiasa mengantri di luar negeri. Apabila anda pernah bepergian ke luar negeri melalui terminal F di bandara, Anda akan mengerti maksud saya, dimana anda bisa melihat banyak orang yang stress menghadapi antrian panjang dan berkelok-kelok seperti ular untuk check-in. Kenapa? karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan orang Indonesia untuk datang mepet waktu dan tidak memperhitungkan waktu untuk mengantri. Beruntunglah kalau kita memiliki waktu boarding yang yang masih cukup lama.
Tapi
kalau kita memiliki waktu boarding yang sempit, antrian berkelok-kelok ini pasti
membuat kita stress dan panik juga, kenapa? Soalnya setiap orang yang memiliki
tujuan yang berebda-beda dan waktu boarding yang berbeda-beda berada dalam satu
garis antrian yang sama. Penumpang yang panik adalah orang yang sebentar lagi
mau boarding, tetapi orang-orang yang berada di depannya adalah orang-orang
yang memiliki waktu boarding yang masih lama. (Kita tidak bisa mengetahui orang
di depan kita memiliki waktu boarding yang sama dengan kita atau tidak, bukan?
Masalah
terpecahkan? Memang
salah kita sendiri kalau kita datang pada waktu yang mepet, karena seharusnya
kita sudah HARUS check-in MINIMAL 1 jam sebelum waktu boarding. Namun kebiasaan
masyarakat kita adalah kita senang datang untuk check-in setengah jam atau
seperempat jam sebelum waktu boarding. Atau kalaupun bukan masalah kebiasaan,
keterlambatan terjadi karena alasan klasik ibukota, yaitu kemacetan. Akibatnya
apa? Para penumpang yang telat ini biasanya mulai kesal dan marah karena
antriannya di depannya masih panjang. Kalau sudah begini, petugas bandara mulai
panik dan membuka satu antrian baru lagi untuk mereka yang datang terlambat.
Keputusan yang tepat? Terdengar demikian. Masalah penumpang yang hampir telat
ini terpecahkan karena mereka puas bisa terbang tepat waktu!
Namun, bagaimana dengan mereka yang telah mengantri secara tertib? Apakah mereka tidak kesal diperlakukan seperti itu? Berarti lebih baik menjadi si orang yang terlambat karena pada akhirnya mereka mendapatkan perlakuan yang lebih "spesial" dengan langsung dibukakan-nya line tersendiri. Orang-orang yang telah mengantri secara tertib ini tidak diperlakukan secara adil padahal mereka berusaha menepati ketentuan dan budaya antri yang ada. Mereka adalah penumpang yang tertib, datang sesuai jadwal untuk check-in, tetapi ternyata prioritas diberikan kepada orang yang datang telat. Kenyataannya, penumpang yang datang telat itu kemungkinan besar akan kembali datang telat karena selalu diberikan 'prioritas' untuk memotong antrian.
Kebanyakan
orang Indonesia tidak mau mengantri, karena masalah kebudayaan jam karet dan
juga tidak ada sistem yang baik untuk mengantri, walaupun dari hati nurani
kita, kita tahu kita harus mengantri, namun berapa kali kita melihat ada saja
orang yang tidak tahu malu memotong antrian dengan memasang wajah tidak
bersalah? Antri adalah disiplin ilmu tersendiri dalam dunia pelayanan. Antrian
berkelok-kelok seperti ular memiliki kelebihan dan juga kekurangan sendiri.
Kelebihannya (dalam antrian ular), orang yang mengantri akan teratur dengan
sendirinya berdasarkan waktu kedatangan. Selain itu, antrian ular membuat
antrian seolah tidak panjang. Hal ini tentu berbeda dengan antrian lurus yang
membuat barisnya terkesan panjang. Kalaupun dibuat lebih dari satu antrian
panjang, orang yang berada didalam antrian yang lambat bergerak biasanya
menjadi tidak puas.
Namun demikian, antrian yang dibuat berkelok-kelok seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua memiliki waktu kepergian yang berbeda-beda, akibatnya sistem antrian menjadi tidak berguna. Mengelola sebuah antrian memang sebuah hal yang kompleks. Semakin banyak pelanggan yang datang, maka sistem antrian harus lebih baik. Bayangkan misalnya Telkomsel yang memiliki 75 juta pelanggan harus menghadapi misalkan komplen 50% dari 75 juta itu dalam satu hari dan harus dilakukan secara face to face. Bayangkan berapa panjang antriannya? Belum petugas customer service selesai dengan 1 konsumen, ribuan konsumen baru datang mengantri.
Namun demikian, antrian yang dibuat berkelok-kelok seperti ular ini memang membuat tidak puas jika karakter orang yang mengantri seperti kasus di bandara. Apalagi mereka semua memiliki waktu kepergian yang berbeda-beda, akibatnya sistem antrian menjadi tidak berguna. Mengelola sebuah antrian memang sebuah hal yang kompleks. Semakin banyak pelanggan yang datang, maka sistem antrian harus lebih baik. Bayangkan misalnya Telkomsel yang memiliki 75 juta pelanggan harus menghadapi misalkan komplen 50% dari 75 juta itu dalam satu hari dan harus dilakukan secara face to face. Bayangkan berapa panjang antriannya? Belum petugas customer service selesai dengan 1 konsumen, ribuan konsumen baru datang mengantri.
Kesimpulan
:
Weits,
kalo sudah membicarakan masalah budaya tertib mengantri rasanya pegel, deh!
Kayaknya kok orang Indonesa ini sudah terkenal “anti mengantri”. Contoh simple
yang selalu membuatku mengeluarkan “kata-kata mutiara” (baca: memaki) adalah
saat mengantri keluar tol. Haduh, adaaaa saja yang berusaha menyalip ato
memotong antrian terutama ketika belum memasuki zona antrian dengan pembatas
kiri kanan itu. Wuih, kalo sudah gitu tentu aku gak mau mengalah. Kita yang sudah
capek-capek mengantri dari jauh tiba-tiba dipotong. Kalo yang motong jalan itu
angkot ato truk ato bus meski kesal aku masih maklumi. Yah, mereka kan para
pejuang jalanan yang tingkat stress nya itnggi. Tapi ini kadang mobil mewah
dengan pengendara yang perlente ck…ck…ck… Tampang boleh, kelakuan sih tetep
sopir angkot.Contoh lainnya yang tragis menurut saya adalah antrian yang
menimbulkan korban jiwa karena pengambilan sembako atau daging kurban yang saya
sendiri sudah tidak bisa berkomentar banyak soal sistem pengantriannya. Semua
kembali ke sistem pengantrian, budaya dan mental masyarakat kita yang tidak mau
mengantri. Saya berharap Anda yang membaca tulisan ini, setidaknya tergugah
untuk mulai melakukan hal simpel namun penting yakni bernama antri ini.
budaya
tertib mengantri ini masih hal yang mewah di negara kita tercinta ini. Semua
ingin duluan, semua merasa lebih penting dari yang lain, merasa lebih
membutuhkan dari yang lain. Padahal kalo kita sadar, dengan mengantri semua
akan menjadi lebih lancar dan cepat. Bisa mengurangi kemacetan, semua puas,
semua senang Paling tidak, budaya tertib mengantri ini harus kita ajarkan pada
orang-orang terdekat kita, pada anak-anak. Tentu dengan diri kita sendiri yang
memulainya. Yuks Kawan, mulai sekarang kita tertib mengantri di jalan, di kasir
mart, di ATM, di WC umum, di manaaaaa sajaaaaa. Maka hidup ini akan lebih
indah, dan negara kita tercinta ini akan semakin maju dan kita akan terkenal
dengan budaya tertib mengantri
.