INDAH WARTIANI PUTRI 13111576 4KA41
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan teknologi yang sangat pesat, membutuhkan
pengaturan hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi tersebut.
Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum memiliki perundang-undangan
khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam aspek pidana maupun
perdatanya.
Saat ini telah lahir hukum baru yang
dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan
hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi
informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world
law), dan hukum mayantara.
Di Indonesia,
sudah ada UU ITE, UU No. 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi dan
transaksi elektonik, Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak
semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan
oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang
dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara
Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan
hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan
Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas teritorial atau universal.
2.1 Pengertian Peraturan dan Regulasi
Peraturan adalah sesuatu yang disepakati dan
mengikat sekelompok orang/ lembaga dalam rangka mencapai suatu tujuan dalam
hidup bersama.
Regulasi adalah “mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan.” Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya: pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial (misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat, mempertimbangkan regulasi dalam tindakan perilaku misalnya menjatuhkan sanksi (seperti denda).
Regulasi adalah “mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan.” Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya: pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial (misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat, mempertimbangkan regulasi dalam tindakan perilaku misalnya menjatuhkan sanksi (seperti denda).
Peraturan dan Regulasi dalam bidang
teknologi informasi terdapat dalam undang - undang nomor 36 seperti dibawah ini
:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor
154,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3881
);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang lnformasi
dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun
2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
lndonesia
Nomor 4843);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan
lnformasi Publik (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 2008
Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia
Nomor
4846);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara
Republik
lndonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran
Negara
Republik lndonesia Nomor 3980);
5. Peraturan Presiden Republik lndonesia Nomor 47
Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara;
6. Peraturan Presiden Republik lndonesia Nomor 24
Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara Serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian
Negara;
7. Keputusan Presiden Republik lndonesia Nomor 84lP
Tahun 2009
tentang Susunan Kabinet lndonesia Bersatu I1 Periode
2009 - 2014;
8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 21 Tahun
2001 tentang
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah
diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika
Nomor: 31 /PER/M.KOMINF0/0912008;
9. Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika
Nomor:
03/PM.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan
Pada
Beberapa KeputusanlPeraturan Menteri Perhubungan yang
Mengatur
Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan
Telekomunikasi;
10. Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika
Nomor:
26/PER/M.KOMINF0/5/2007 tentang Pengamanan
Pemanfaatan
Jaringan Telekomunikasi Berbasis Protokol lnternet
sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan
lnformatika
Nomor: 16/PER/M.KOMINF0/10/2010;
11. Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika
Nomor:
01/PER/M.KOMINF0101/2010 tentang Penyelenggaraan
Jaringan
Telekomunikasi;
12. Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika
Nomor:
17/PER/M.KOMINFO/1 01201 0 tentang Organisasi dan Tata
Kerja
Kementerian Komunikasi dan Informatika;
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Protokol lnternet adalah sekumpulan protokol yang
didefinisikan
oleh lnternet Engineering Task Force (I ETF).
2. Jaringan telekomunikasi berbasis Protokol lnternet
adalah
jaringan telekomunikasi yang digunakan
penyelenggaraan
jaringan dan jasa telekomunikasi dengan
memanfaatkan
protokol internet dalam melakukan kegiatan
telekomunikasi.
3. Indonesia-Security Incident Responses Team on
lnternet
Infrastructure yang selanjutnya disebut ID-SIRTII
adalah Tim
yang ditugaskan Menteri untuk membantu
pengawasan
keamanan jaringan telekomunikasi berbasis protokol
internet.
4. Rekaman aktivitas transaksi koneksi (Log File)
adalah suatu file
yang mencatat akses pengguna pada saluran akses
operatorlpenyelenggara jasa akses berdasarkan alamat
asal
Protokol Internet (source), alamat tujuan
(destination), jenis
protokol yang digunakan, Port asal (source), Porf
tujuan
(destination) dan waktu (time stamp) serta durasi
terjadinya
transaksi.
5. Monitoring Jaringan adalah fasilitas pemantau dan
pendeteksi
pola (pattern) akses dan transaksi yang
berpotensi
mengganggu atau menyerang jaringan untuk tujuan
memantau
kondisi jaringan, memberikan peringatan dini (early
warning)
dan melakukan tindakan pencegahan (prevent).
6. Penyelenggara akses internet (Internet Service
Provider/lSP)
adalah penyelenggara jasa multimedia yang
menyelenggarakan
jasa akses internet kepada masyarakat.
7. Penyelenggaran jasa interkoneksi internet (Network
Acces
Poifn/NAP) adalah penyelenggara jasa multimedia
yang
meyelenggarakan jasa akses dan atau routing kepada
ISP
untuk melakukan koneksi ke jaringan internet
global.
8. Hot spot adalah tempat tersedianya akses internet
urituk publik
yang menggunakan teknologi nirkabel (wireless).
9. lnternet Exchange Point adalah titik dimana ruting
internet
nasional berkumpul untuk saling berinterkoneksi.
10. Pra bayar adalah sistem pembayaran diawal periode pemakaian
melalui pembelian nomor perdana dan pulsa isi ulang
(voucher).
11. Warung internet yang selanjutnya disebut Warnet
adalah
resseler dari ISP dan memiliki tempat penyediaan jasa
internet
- kepada masyarakat.
12. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas
dan tanggung
jawabnya di bidang komunikasi dan informatika.
13. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal
Penyelenggaraan
Pos dan Informatika
Perbandingan Cyber Law
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
Semakin banyak munculnya kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka dibuatlah sebuah regulasi konten, yaitu :
Keamanan nasional : instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun tidak sah, aktivitas teroris.
Protection of minors (Perlindungan pelengkap) : abusive forms of marketing, violence, pornography
Protection of human dignity(Perlindungan martabat manusia) : hasutan kebencian rasial, diskriminasi rasial.
Keamanan ekonomi : penipuan, instructions on pirating credit cards, scam, cybercrime.
Keamanan informasi : Cybercrime, Phising
Protection of Privacy
Protection of Reputation
Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang-undang tersebut dapat didownload dari website www.ri.go.id dan dapat langsung membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
Berikut ini merupakan perbandingan Cyberlaw di beberapa negara.
1. Cyberlaw di Indonesia
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
Semakin banyak munculnya kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke dalam programmer komputer. Maka dibuatlah sebuah regulasi konten, yaitu :
Keamanan nasional : instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun tidak sah, aktivitas teroris.
Protection of minors (Perlindungan pelengkap) : abusive forms of marketing, violence, pornography
Protection of human dignity(Perlindungan martabat manusia) : hasutan kebencian rasial, diskriminasi rasial.
Keamanan ekonomi : penipuan, instructions on pirating credit cards, scam, cybercrime.
Keamanan informasi : Cybercrime, Phising
Protection of Privacy
Protection of Reputation
Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang-undang tersebut dapat didownload dari website www.ri.go.id dan dapat langsung membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang dilarang.
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cybercrime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
Berikut ini merupakan perbandingan Cyberlaw di beberapa negara.
1. Cyberlaw di Indonesia
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Tentang UU ITE
UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik )adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia
UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan. Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI.
Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Keterbatasan UU Telekomunikasi dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Salah satu UU yang berhubungan dengan pengaturan penggunaan teknologi informasi yaitu UU N0.36. Isi dari UU No.36 adalah apa arti dari telekomunikasi, asas dan tujuan dari telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, pengamanan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana dari pengguanaan telekomunikasi, yang dimana semua ketentuan itu telah di setujuin oleh DPR RI.
Pada UU No.36 tentang telekomunikasi mempunyai salah satu tujuan yang berisikan upaya untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan hubungan antar bangsa
Sumber: http://kurosawa23.blogspot.com/2013/07/peraturan-dan-regulasi-bidang-it.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar